Fenomena Terorisme merupakan isu yang paling mutakhir di abad ini semenjak kejadian serangan udara di gedung Pentagon 11 September 2001 lalu. Al Qaeda disebut-sebut sebagai dalang dan eksekutor di balik serangan tersebut. Sejak saat itu, Amerika Serikat mengalami trauma dan rasa phobia terhadap kelompok gerakan Islam. Mereka mengkampanyekan gerakan anti terrorisme di berbagai negara di seluruh belahan dunia. Terlepas dari konteks Islam ekstrimis ataupun Al Qaeda, tindakan terror jelas mengancam ketenangan (peace) serta mengancam keselamatan banyak jiwa. Terlebih lagi, yang rawan akan serangan terror adalah civillian (penduduk sipil)—bukan combatant, ataupun armed forces (angkatan bersenjata).
Inilah yang disoroti oleh Hukum Humaniter Internasional (International Humanitarian Law) saat ini. Tindakan terrorisme semenjak kejadian 11 September tersbut nampaknya menjadi lebih massive dibandingkan tahun-tahun dulu. Mungkin ada beberapa isu yang perlu disorot melalui Hukum Humaniter Internasional ini. Pertama, bagaimana Hukum Humaniter Internasional memandang fenomena terrorisme sebagai suatu konflik yang melibatkan aktor non negara. Kemudian, mungkin saya langsung melibatkan peranan Konvensi Genewa dalam kasus ini; siapakah korban dari serangan-serangan tindakan terror yang selama ini terjadi dan bagaimana Hukum Humaniter Internasional bisa menjalankan fungsinya untuk melindungi dan mengurangi penderitaan korban konflik terror. Ketiga, mengenai status penahanan para terroris dan perlakuan yang mungkin diberikan kepada mereka. Dan apakah Hukum Humaniter Internasional membenarkan tindakan yang sewenang-wenang terhadap para terroris yang ditawan.
Pertama, bagaimana Hukum Humaniter Internasional memandang fenomena terrorisme sebagai suatu konflik yang melibatkan aktor non negara. Selama ini, studi Hubungan Internasional selalu melibatkan aktor negara ( state actor) dalam kajian studinya. Termasuk di dalamnya, yang melibatkan Hukum Humaniter Internasional, yang selama ini menggunakan state actor dalam kajiannya. Lantas, kemudian bagaimana dengan tindakan yang dilakukan oleh para terroris tersebut. Apakah mereka angkatan bersenjata/militan/combatant; apakah mereka pemberontak yang memberontak terhadap pemerintah negaranya; dan apakah yang mereka lakukan legal secara aturan Hukum Humaniter Internasional. Menurut artikel Terrorists Are Unlawful Belligerents, Not Unlawful Combatants: A Distinction With Implications for The Future of International Humanitarian Law hal-hal tersebutlah yang perlu disoroti. Melihat fenomena yang terjadi mengenai kasus terrorisme tersebut, apakah Hukum Humaniter Internasional masih ingin tetap mempertahankan fokusnya terhadap state actor dalam hal konflik bersenjata. Padahal, fenomena terrorisme juga merupakan suatu konflik bersenjata, yang bahkan bersifat global. Selain itu juga, melihat peran utama Hukum Humaniter Internasional, sejak awal bibitnya adalah melindungi korban yang jatuh akibat konflik bersenjata serta mengatur aturan dalam konflik bersenjata. Nampaknya Hukum Humaniter Internasional perlu mengekstensifkan cakupan bahasannya terutama mengenai kasus terorisme yang sangat kontemporer saat ini.
Kedua, melihat siapakah korban dari serangan-serangan tindakan terror yang selama ini terjadi dan bagaimana Hukum Humaniter Internasional bisa menjalankan fungsinya untuk melindungi dan mengurangi penderitaan korban konflik terror. Dari serangan-serangan terrorisme yang selama ini sering terjadi, korban yang jatuh bukan combatan ataupun militan, namun sebagian besar dari mereka adalah para penduduk sipil. Sedangkan Hukum Humaniter Internasional selama ini nampaknya masih sangat bersifat strukturalis, yang fokus kepada isu state actor, sehingga aturan yang ada juga sangat strukturalis mengenai korban civillian ataupun combatant. Lantas, bila melihat kasus dan fenomena ini, bagaimanakah Hukum Humaniter Internasional bisa menyikapinya. Kemudian, bagaimana Hukum Humaniter Internasional bisa menjalankan fungsinya untuk melindungi dan mengurangi penderitaan korban akibat konflik terror. Selama ini belum ada aturan yang jelas dalam studi Hukum Humaniter Internasional mengenai kasus tersebut. Para terroris tidak mengenal zona aman (safety zone), Immunity Sign, Dangerous Installation, ataupun Civil Defense. Bahkan mereka pun tidak memiliki aturan dalam hal penyerangan. Sehingga, tidak dapat diprediksikan bagaimana penderitaan yang akan timbul akibat penyerangan terrorisme tersebut, serta perawatan ataupun perhatian apa yang dapat diberikan kepada para korban tersebut, trauma misalnya.
Ketiga, mengenai status tahanan terroris tersebut. Dalam artikel di atas disebutkan bahwa karena mereka bukan combatan ataupun angkatan bersenjata, maka status tawanan mereka adalah sama seperti status tawanan penduduk sipil ataupun narapidana. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa, status tawanan perang combatant berbeda dengan status narapidana. Mereka ditahan adalah untuk mencegah mereka melanjutkan aksi yang dapat membahayakan pihak musuh. Sehingga, perlakuan yang semestinya mereka terima juga berbeda. Mereka tidak berhak disakiti ataupun dilukai selama mereka berstatus sebaagai tahanan perang. Kembali lagi ke permasalahn tawanan terorisme. Lantas, jika mereka tidak berstatus sebagai tawanan perang dan hanya berstatus sebagai narapidana apakah itu bisa berarti mereka boleh diperlakukan secara sewenang-wenang selama mereka berada di dalam tahanan. Apakah mereka berhak dilukai ataupun disakiti secara tidak manusiawi, seperti halnya perlakuan yang diberikan kepada para tawanan terrorisme di Penjara Guantanami, Cuba. Secara moral, hal itu jelas-jelas sangat melanggar hak asasi manusia, bahkan para terroris sekalipun Namun, sekali lagi jelas memang, bahwa Hukum Humaniter Internasional belum memeberikan aturan dan penjelasan yang layak bagi fenomena dan permasalahan ini.
Oleh karena itu perlu segera dicari jalan keluarnya, mengingat fenomena ini berlangsung sangat ekstensif di berbagai belahan dunia pada abad ini. Perlu dirumuskan suatu aturan legal yang mengatur kasus tersebut. Karena, apabila dibiarkan, bagaimana dengan para korban terrorisme yang nantinya akan semakin banyak berjatuhan. Mengingat aksi-aksi yang dilancarkan oleh para teroris tersebut tidak mengenal aturan-aturan formal, mereka hanya menjalankannya sesuai dengan ideologi atau prinsip mereka. Oleh karena itu, Hukum Humaniter Internasional perlu membuat aturan baru yang membahas mengenai permasalahan tersebut.
e�7k ���� untuk menyerang Kuba lewat udara, apalagi sampai menginvasinya. Di sinilah berlaku bias Inaplicability of Rational Framework to Individual Decision Making. Pembuat keputusan utama (Presiden) tidak dapat melakukan pilihan yang rasional. Sehingga, banyak kecaman yang ditujukan kepada Presiden Kennedy.
Situasi psikologis Presiden Kennedy juga sangat dipengaruhi oleh orang-orang terdekatnya, termasuk saudara-saudaranya yang duduk di kursi pemerintahan AS, beserta asisten pribadinya yang juga turut mendukung kebijakan Kennedy. Bias psikologis Kennedy juga mendisturbansi sistem Organizational Model yang berlaku dalam satuan Angkatan Laut AS. Ketika Laksamana memerintahkan Kapten kapal untuk menembakkan meriam sebagai isyarat perintah kapal milik Soviet (Grozny) untuk berhenti, Menteri Pertahanan AS (yang juga merupakan orang dekat Presiden) justru menghardik tindakan tersebut. Di sini terdapat Affective Bias yang dipengaruhi oleh emosi. Salah satu alasannya adalah karena Presiden tidak memerintahkan untuk melaksanakan tindakan tersebut. Namun, prosedur tersebut sudah merupakan aturan (SOP) dalam Angkatan Laut.
Bias dalam hal ini dapat pula tergolong bias Dissonance, atau ketidakcocokan antara perintah dari Presiden dengan SOP yang telah dimiliki oleh Angkatan Laut. Dari sini juga dapat terlihat adanya benturan antara Rational Actor Model dengan Organizational Model. Selain itu, juga terdapat bias Penilaian (Justification) di dalam kasus tersebut. Misalnya, ketika kapal perang AS “mengancam” kapal selam milik Uni Soviet untuk naik ke permukaan, sontak seluruh kapal Soviet berhenti. Bahkan ada beberapa yang berbalik arah. Tentu saja hal ini amat menggembirakan bagi kongres di pemerintahan. Namun, pada saat angkatan laut AS lengah, ternyata ada 1 kapal Soviet yang terus berlayar menembus batas perairan.
Di samping adanya bentuk-bentuk dari berbagai model dalam pembuatan keputusan serta adanya aspek rasional dan psikologis dalam proses pembuatan keputusan (decision maker), Krisis Misil Kuba juga sangat diwarnai dengan situasi krisis Perang Dingin. Perang Dingin yang merupakan permasalahan ideologi antara AS, yang bersifat Demokratis dengan Soviet yang bersifat Komunis, turut mewarnai perseteruan antara AS dengan Uni Soviet dalam kasus misil Kuba .
ng laS �ea����lkan stigma bahwa AS berupaya mencari keuntungan dari kepentingannya terhadap minyak bumi. Perlakuan AS yang berbeda terhadap Israel, dengan membantu negaratersebutdalam hal akomodasi persenjataan, pendanaan, serta dukungan sangat berbeda sekali dengan perlakuan AS terhadap Iran terkait isu nuklirnya. Padahal, Israel sendiri memiliki proyek persenjataan nuklir di kawasan Timur Tengah. Sementara Iran telah berulang kali menyangkal hal tersebut, serta melihat fakta bahwa pengayaan uranium yang dilakukan oleh Iran hanya sekedar 3.7%. Padahal untuk membuat reaktor nuklir dalam proyek persenjataan nuklir, dibutuhkan pengayaan uranium hingga mencapai 90%. Hal tidak beralasan yang dituduhkan oleh AS ini merupakan sejarah panjang yang timbul dari hubungan antara kedua negara, sehingga menimbulkan aksi offensif satu sama lain. Penerapan standar ganda yang dilakukan oleh AS terhadap negara-negara Timur Tengah juga terlihat pada Irak dan Arab Saudi. Arab Saudi sendiri mengalami penerapan Kebijakan Politik Luar Negeri Standar Ganda AS dalam rezim yang berbeda, hampir sama halnya dengan Iran pada masa pemerintaha Reza Pahlevi dengan Ayatollah Khomeini. Namun, motif dari permasalahan standar ganda yang diterapkan oleh AS terhadap arab Saudi lebih mengacu pada permasalahan ekonomi (sumber minyak). Padahal dulunya AS sempat memusuhi Arab Saudi yang membantu Palestina dalam konflik Israel- Palestina di Jerusalem, namun hubungan ini tiba-tiba membaik dan berubah 180 derajat setelah AS dan arab saudi melakukan perjanjian untuk mengadakan eksplorasi minyak di negara tersebut.
Sehingga, dalam hal ini, pengaruh penerapan standar ganda yang dilakukan oleh AS terhadap hubungannya dengan negara-negara di kawasan Timur Tengah memiliki pengaruh pada pola hubungan yang amat fluktuatif dan dinamis. Tergantung kepada national interest dan kepentingan negara masing-masing, terutama dari pihak AS sendiri dan bagaimana rezim yang berkuasa di negara-negara Timur Tengah tersebut menyikapi sikap dan kepentigan Amerika Serikat terhadap negaranya. Hubungan AS dengan negara-negara Timur Tengah dengan diberlakukannya Politik Standar Ganda bisa mencapai titik tertinggi yang paling harmonis dalam hubungan antara kedua negara, bisa pula dalam hubungan pertengahan dan tidak ada hubungan kolaborasi yang amat mencolok, atau bisa juga sebagai hubungan yang berada dalam posisi titik kritis yang paling rendah dalam hubungan antara kedua pihak.
utan y�Esn����dari warga AS sendiri. Bahkan juga sempat diadakan pameran koleksi batik yang dimiliki oleh ibunda Presiden Obama, Ann Dunham, yang juga mendapatkan sambutan yang luar biasa[6].
[1] Pengiriman Pasukan Tambahan AS ke Afghanistan Telan Biaya Rp 283 Trilliun. Sinar Indonesia Baru. http://hariansib.com/?p=101444. Dipostingkan oleh redaksi pada 3 Desember 2009.
[6] “Kunjungan Presiden Obama untuk Mendeklarasikan Comprehensive Partnership”; dan “RI-AS akan Fokus Pada Peningkatan Kerjasama Ekonomi”. Tabloid Diplomasi: Media Komunikasi dan Interaksi. No. 29 Tahun III. Tgl. 15 Maret-14 April 2010.